Pernyataan akhir Majelis Hakim Tribunal Rakyat Internasional tentang
kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia pada 1965 pada
pada penutupan bukti tanggal 13 November 2015
Tribunal yang ditunjuk oleh Yayasan IPT 1965 untuk meninjau pergolakan
dan kekerasan yang menggoncang Indonesia selama dan sesudah September-Oktober
1965, untuk memastikan bahwa kejadian-kejadian ini merupaan kejahatan terhadap
kemanusiaan, untuk mengeluarkan kesimpulan apakah negara Indonesia dan/atau
negara lain harus bertanggung jawab bagi kejahatan ini dan merekomendasikan
langkah-langkah apa yang dapat diambil supaya bisa mencapai kedamaian
berkeadilan serta kemajuan sosial di Indonesia.
Majelis Hakim menyesalkan bahwa baik pemerintah Indonesia maupun negara
lain yang sudah diundang tidak mengirim wakilnya untuk hadir dalam tribunal
ini.
Pernyataan ini ditulis pada tanggal 13 November 2015, pada akhir dengar
pendapat kesaksian para korban dan saksi ahli yang berlangsung selama empat
hari, demikian pula setelah memperhatikan latar belakang sejarah yang luas,
hasil-hasil penelitian, tulisan-tulisan serta pendapat dan khususnya:
a. Pernyataan Komnas HAM pada tanggal 23 Juli 2012 tentang hasil
Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat Peristiwa 1965-1966;
b. Laporan Komnas Perempuan yang berjudul: Kejahatan terhadap
Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa
1965; serta
c. Kesimpulan observasi Komite Hak-Hak Asasi Manusia PBB yang pada tahun
2013 menyatakan prihatin terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di
Indonesia tahun 1965 dan sesudahnya, pengulangan keprihatinan itu pada tahun
2015, termasuk keprihatinan yang dinyatakan pada tahun 2012 oleh Komite PBB
bagi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
Latar belakang sejarah yang luas mencakup bahan-bahan yang berkaitan
dengan pemerintah Indonesia sebelum peristiwa 1965, laporan peristiwa ini dan
dampaknya, tahun-tahun kediktatoran Soeharto sampai menjelang pergantian abad,
konstitusi baru yang lebih reformis yang diangkat setelah penolakan menyeluruh
terhadap rezim Soeharto seperti juga kejadian-kejadian sesudah itu.
Majelis Hakim secara khusus memperhatikan kenyataan bahwa tidak ada
bahan-bahan terandal yang membantah adanya pelanggaran berat hak-hak asasi
manusia ini, diloloskannya UU kebenaran dan rujuk nasional Indonesia dalam
upaya menerima kenyataan bahwa peristiwa ini memang telah terjadi, tidak adanya
penyangkalan oleh pemerintahan di Indonesia terhadap peristiwa ini serta janji
Presiden Joko Widodo bahwa pelanggaran ini akan ditangani. Semua bahan yang ada
ini memastikan di luar keraguan bahwa pelanggaran hak-hak asasi manusia serius
yang diajukan kepada para hakim memang benar-benar telah terjadi.
Majelis Hakim beranggapan bahwa pernyataan jaksa tentang telah
terjadinya pembunuhan yang kejinya tak terperikan serta pembunuhan massal
terhadap lebih dari puluhan ribu orang, pemenjaraan ratusan ribu orang yang tak
dapat dibenarkan tanpa pengadilan dan dalam waktu yang terlalu lama serta dalam
keadaan penuh sesak, kemudian penerapan siksaan yang tidak manusiawi serta
kejam dan kerja paksa yang bisa mengarah pada perbudakan, semua itu sepenuhnya
mendasar. Juga telah ditunjukkan bahwa kekerasan seksual, terutama terhadap
perempuan, berlangsung secara sistematis dan rutin, khususnya pada periode
1965-1967, bahwa banyak lawan politik dianiaya dan diasingkan, dan ribuan orang
yang, menurut wacana propaganda dan kebencian, dianggap tidak cukup mendukung
kediktatoran Soeharto, telah hilang. Semua ini dibenarkan dan didorong melalui
propaganda yang bertujuan untuk menegakkan pendirian palsu bahwa mereka yang
melawan rezim militer sudah langsung tidak bermoral dan sangat bejat.
Sudah dibuktikan bahwa negara Indonesia sepanjang periode itu melalui
sayap militer dan polisinya melakukan dan mendorong pelaksanaan pelanggaran
hak-hak asasi manusia yang serius ini secara sistematis dan meluas. Majelis
Hakim juga percaya bahwa ini dilakukan demi tujuan politik: untuk membasmi PKI
dan mereka yang dianggap sebagai anggota atau simpatisannya, juga lebih luas
lagi para pendukung Sukarno, aktivis serikat buruh dan serikat guru. Rancangan
seperti ini bertujuan untuk memunculkan rezim diktator yang bengis yang dengan
benar telah dimasukkan dalam sejarah oleh rakyat Indonesia. Tak diragukan lagi
bahwa tindakan-tindakan ini, yang semula dievaluasi secara terpisah untuk kemudian
disatukan, telah merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, baik secara hukum
internasional maupun menurut kaidah dan tata hukum zaman reformasi seperti
telah diterima oleh rakyat Indonesia 17 tahun silam. Tribunal ini telah
mendengar bukti secara terperinci dan mengharukan yang dikemukakan oleh para
korban serta keluarga mereka, seperti juga bukti-bukti yang dikemukakan oleh
para pakar. Majelis Hakim melihat rangkaian bukti ini sebagai puncak gunung es,
dengan beberapa contoh nyata dan jelas tapi memilukan tentang bagaimana
kehidupan manusia dicabik-cabik, bukan saja yang ditampilkan di hadapan Majelis
Hakim tapi juga keseluruhan jaringan kehidupan manusia sebagai bagian besar
masyarakat Indonesia.
Jaksa penuntut juga menunjukkan bahwa negara-negara lain telah membantu
rezim bengis Soeharto untuk mencapai semua ini dalam upayanya mencapai tatanan
internasional tertentu pada kerangka Perang Dingin. Kami akan mempertimbangkan
hal ini dalam keputusan akhir nanti.
Bahan-bahan yang disampaikan kepada hakim bisa membuktikan bahwa telah
dilakukan tindak pidana berat lain. Masalah ini juga akan diuraikan pada
putusan akhir itu.
Majelis Hakim merasa cukup puas dengan kesimpulan mereka sehingga bisa
mengumumkannya sekarang. Walau begitu kami masih butuh waktu untuk bisa secara
terperinci menguraikan pelbagai alasan yang merupakan dasar untuk sampai pada
kesimpulan ini. Dalam bulan-bulan mendatang, kami akan menyampaikan keputusan
akhir yang menguraikan setiap kesimpulan dan pendapat yang ada pada penyataan
ini.
Majelis Hakim berpendapat bahwa negara Indonesia bertanggung jawab bagi
terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan seperti itu, karena rantai komando
diselenggarakan dari atas ke bawah seperti sebuah lembaga institusional.
Walaupun pada tahun 1998 di Indonesia sudah terjadi perubahan-perubahan
penting dan positif yang lebih menekankan pentingnya hak-hak asasi manusia
dalam penyelenggaraan pemerintahan, tapi itu ternyata belum juga menyebabkan
pemerintah menangani pelanggaran berat hak-hak asasi manusia masa lampau yang
berlangsung begitu sistematis.
Sebagai tambahan kesimpulan di atas, Tribunal yakin bahwa bukti yang
diajukan mengenai alat-aat propaganda sebelum 1965 yang mendorong anggapan
bukan manusia sehingga terjadi pembunuhan ribuan orang juga menyangkut
kebohongan. Secara khusus pengulang-ulangan bahwa para jenderal telah dipotong
kemaluan mereka sudah lama dibuktikan tidak besar melalui visum et repertum dan
laporan ini sudah juga diketahui oleh pelbagai pemerintahan di Indonesia.
Merupakan tugas Presiden dan pemerintah Indonesia untuk secepat mungkin
mengakui kepalsuan ini, meminta maaf sepenuhnya tanpa ragu-ragu atas kebohongan
yang telah dilakukan, dan menjalankan penyidikan kemudian juga mengadili pelaku
yang masih hidup. Tribunal menduga bahwa Presiden tentu saja akan melakukan
semua ini serta memenuhi janji pemilu. Lebih dari itu, pelbagai arsip harus
dibuka dan kebenaran bagi kejahatan terhadap kemanusiaan ini harus ditegakkan.
Berkaitan dengan ini, Majelis Hakim mencatat bahwa Komnas HAM sudah melakukan
penelitian pada tahun 2008 dan pemerintah Indonesia sudah menerima laporan
serta rekomendasi Komnas HAM. Pemerintah belum melaksanakan rekomendasi itu dan
menurut kami harus melaksanakannya sebagai sesuatu yang mendesak. Rekomendasi
ini mencakup santunan yang memadai bagi para korban.
Kami menghargai Yayasan IPT65 dan banyak orang yang sudah menghabiskan
waktu dan energi serta dana atau sumberdaya lain untuk Tribunal ini. Tanpa
semua keterlibatan dan tekat ini, Tribunal tidak akan mungkin terlaksana. Kami
percaya bahwa jerih payah mereka akan memperoleh justifikasi jika ada respons
memadai baik pada tingkat nasional maupun internasional.
Mireille Fanon-Mendes France
Cees Flinterman
John Gittings
Helen Jarvis
Geoffrey Nice
Shadi Sadr
Zak Yacoob
No comments:
Post a Comment