Thursday 19 November 2015

Pernyataan akhir Majelis Hakim Tribunal Rakyat Internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia pada 1965

Pernyataan akhir Majelis Hakim Tribunal Rakyat Internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia pada 1965 pada

pada penutupan bukti tanggal 13 November 2015
Tribunal yang ditunjuk oleh Yayasan IPT 1965 untuk meninjau pergolakan dan kekerasan yang menggoncang Indonesia selama dan sesudah September-Oktober 1965, untuk memastikan bahwa kejadian-kejadian ini merupaan kejahatan terhadap kemanusiaan, untuk mengeluarkan kesimpulan apakah negara Indonesia dan/atau negara lain harus bertanggung jawab bagi kejahatan ini dan merekomendasikan langkah-langkah apa yang dapat diambil supaya bisa mencapai kedamaian berkeadilan serta kemajuan sosial di Indonesia.
Majelis Hakim menyesalkan bahwa baik pemerintah Indonesia maupun negara lain yang sudah diundang tidak mengirim wakilnya untuk hadir dalam tribunal ini.
Pernyataan ini ditulis pada tanggal 13 November 2015, pada akhir dengar pendapat kesaksian para korban dan saksi ahli yang berlangsung selama empat hari, demikian pula setelah memperhatikan latar belakang sejarah yang luas, hasil-hasil penelitian, tulisan-tulisan serta pendapat dan khususnya:
a. Pernyataan Komnas HAM pada tanggal 23 Juli 2012 tentang hasil Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat Peristiwa 1965-1966;
b. Laporan Komnas Perempuan yang berjudul: Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965; serta
c. Kesimpulan observasi Komite Hak-Hak Asasi Manusia PBB yang pada tahun 2013 menyatakan prihatin terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia tahun 1965 dan sesudahnya, pengulangan keprihatinan itu pada tahun 2015, termasuk keprihatinan yang dinyatakan pada tahun 2012 oleh Komite PBB bagi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
Latar belakang sejarah yang luas mencakup bahan-bahan yang berkaitan dengan pemerintah Indonesia sebelum peristiwa 1965, laporan peristiwa ini dan dampaknya, tahun-tahun kediktatoran Soeharto sampai menjelang pergantian abad, konstitusi baru yang lebih reformis yang diangkat setelah penolakan menyeluruh terhadap rezim Soeharto seperti juga kejadian-kejadian sesudah itu.
Majelis Hakim secara khusus memperhatikan kenyataan bahwa tidak ada bahan-bahan terandal yang membantah adanya pelanggaran berat hak-hak asasi manusia ini, diloloskannya UU kebenaran dan rujuk nasional Indonesia dalam upaya menerima kenyataan bahwa peristiwa ini memang telah terjadi, tidak adanya penyangkalan oleh pemerintahan di Indonesia terhadap peristiwa ini serta janji Presiden Joko Widodo bahwa pelanggaran ini akan ditangani. Semua bahan yang ada ini memastikan di luar keraguan bahwa pelanggaran hak-hak asasi manusia serius yang diajukan kepada para hakim memang benar-benar telah terjadi.
Majelis Hakim beranggapan bahwa pernyataan jaksa tentang telah terjadinya pembunuhan yang kejinya tak terperikan serta pembunuhan massal terhadap lebih dari puluhan ribu orang, pemenjaraan ratusan ribu orang yang tak dapat dibenarkan tanpa pengadilan dan dalam waktu yang terlalu lama serta dalam keadaan penuh sesak, kemudian penerapan siksaan yang tidak manusiawi serta kejam dan kerja paksa yang bisa mengarah pada perbudakan, semua itu sepenuhnya mendasar. Juga telah ditunjukkan bahwa kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan, berlangsung secara sistematis dan rutin, khususnya pada periode 1965-1967, bahwa banyak lawan politik dianiaya dan diasingkan, dan ribuan orang yang, menurut wacana propaganda dan kebencian, dianggap tidak cukup mendukung kediktatoran Soeharto, telah hilang. Semua ini dibenarkan dan didorong melalui propaganda yang bertujuan untuk menegakkan pendirian palsu bahwa mereka yang melawan rezim militer sudah langsung tidak bermoral dan sangat bejat.
Sudah dibuktikan bahwa negara Indonesia sepanjang periode itu melalui sayap militer dan polisinya melakukan dan mendorong pelaksanaan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang serius ini secara sistematis dan meluas. Majelis Hakim juga percaya bahwa ini dilakukan demi tujuan politik: untuk membasmi PKI dan mereka yang dianggap sebagai anggota atau simpatisannya, juga lebih luas lagi para pendukung Sukarno, aktivis serikat buruh dan serikat guru. Rancangan seperti ini bertujuan untuk memunculkan rezim diktator yang bengis yang dengan benar telah dimasukkan dalam sejarah oleh rakyat Indonesia. Tak diragukan lagi bahwa tindakan-tindakan ini, yang semula dievaluasi secara terpisah untuk kemudian disatukan, telah merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, baik secara hukum internasional maupun menurut kaidah dan tata hukum zaman reformasi seperti telah diterima oleh rakyat Indonesia 17 tahun silam. Tribunal ini telah mendengar bukti secara terperinci dan mengharukan yang dikemukakan oleh para korban serta keluarga mereka, seperti juga bukti-bukti yang dikemukakan oleh para pakar. Majelis Hakim melihat rangkaian bukti ini sebagai puncak gunung es, dengan beberapa contoh nyata dan jelas tapi memilukan tentang bagaimana kehidupan manusia dicabik-cabik, bukan saja yang ditampilkan di hadapan Majelis Hakim tapi juga keseluruhan jaringan kehidupan manusia sebagai bagian besar masyarakat Indonesia.
Jaksa penuntut juga menunjukkan bahwa negara-negara lain telah membantu rezim bengis Soeharto untuk mencapai semua ini dalam upayanya mencapai tatanan internasional tertentu pada kerangka Perang Dingin. Kami akan mempertimbangkan hal ini dalam keputusan akhir nanti.
Bahan-bahan yang disampaikan kepada hakim bisa membuktikan bahwa telah dilakukan tindak pidana berat lain. Masalah ini juga akan diuraikan pada putusan akhir itu.
Majelis Hakim merasa cukup puas dengan kesimpulan mereka sehingga bisa mengumumkannya sekarang. Walau begitu kami masih butuh waktu untuk bisa secara terperinci menguraikan pelbagai alasan yang merupakan dasar untuk sampai pada kesimpulan ini. Dalam bulan-bulan mendatang, kami akan menyampaikan keputusan akhir yang menguraikan setiap kesimpulan dan pendapat yang ada pada penyataan ini.
Majelis Hakim berpendapat bahwa negara Indonesia bertanggung jawab bagi terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan seperti itu, karena rantai komando diselenggarakan dari atas ke bawah seperti sebuah lembaga institusional.
Walaupun pada tahun 1998 di Indonesia sudah terjadi perubahan-perubahan penting dan positif yang lebih menekankan pentingnya hak-hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pemerintahan, tapi itu ternyata belum juga menyebabkan pemerintah menangani pelanggaran berat hak-hak asasi manusia masa lampau yang berlangsung begitu sistematis.
Sebagai tambahan kesimpulan di atas, Tribunal yakin bahwa bukti yang diajukan mengenai alat-aat propaganda sebelum 1965 yang mendorong anggapan bukan manusia sehingga terjadi pembunuhan ribuan orang juga menyangkut kebohongan. Secara khusus pengulang-ulangan bahwa para jenderal telah dipotong kemaluan mereka sudah lama dibuktikan tidak besar melalui visum et repertum dan laporan ini sudah juga diketahui oleh pelbagai pemerintahan di Indonesia. Merupakan tugas Presiden dan pemerintah Indonesia untuk secepat mungkin mengakui kepalsuan ini, meminta maaf sepenuhnya tanpa ragu-ragu atas kebohongan yang telah dilakukan, dan menjalankan penyidikan kemudian juga mengadili pelaku yang masih hidup. Tribunal menduga bahwa Presiden tentu saja akan melakukan semua ini serta memenuhi janji pemilu. Lebih dari itu, pelbagai arsip harus dibuka dan kebenaran bagi kejahatan terhadap kemanusiaan ini harus ditegakkan.
Berkaitan dengan ini, Majelis Hakim mencatat bahwa Komnas HAM sudah melakukan penelitian pada tahun 2008 dan pemerintah Indonesia sudah menerima laporan serta rekomendasi Komnas HAM. Pemerintah belum melaksanakan rekomendasi itu dan menurut kami harus melaksanakannya sebagai sesuatu yang mendesak. Rekomendasi ini mencakup santunan yang memadai bagi para korban.
Kami menghargai Yayasan IPT65 dan banyak orang yang sudah menghabiskan waktu dan energi serta dana atau sumberdaya lain untuk Tribunal ini. Tanpa semua keterlibatan dan tekat ini, Tribunal tidak akan mungkin terlaksana. Kami percaya bahwa jerih payah mereka akan memperoleh justifikasi jika ada respons memadai baik pada tingkat nasional maupun internasional.
Mireille Fanon-Mendes France
Cees Flinterman
John Gittings
Helen Jarvis
Geoffrey Nice
Shadi Sadr
Zak Yacoob


No comments:

Post a Comment